Dalam kehidupan sehari-hari, pengendalian emosi menjadi salah satu tantangan besar yang dihadapi oleh masyarakat. Hal ini semakin terlihat di jalan raya, di mana banyak kejadian tidak menyenangkan terjadi akibat lemahnya pengendalian emosi seseorang. Kejadian-kejadian ini sering kali berujung pada dampak yang lebih besar, seperti kecelakaan lalu lintas dan bahkan perkelahian. Menariknya, sering kali setelah tindakan emosional yang impulsif terjadi, pelaku baru menyadari bahwa perilaku buruk mereka dapat berakibat pada konsekuensi hukum yang serius.

Namun, pertanyaan yang muncul adalah bagaimana dengan pengendalian emosi di dunia kerja? Meskipun belum ada penelitian yang komprehensif mengenai kondisi pengendalian emosi di tempat kerja, hasil pengamatan menunjukkan adanya peningkatan yang signifikan dalam lemahnya pengendalian emosi di lingkungan profesional.

Ekspresi Emosi di Tempat Kerja

Ekspresi emosi di tempat kerja bisa bermacam-macam. Karyawan dapat menunjukkan gejala seperti :

Baper (Bawa Perasaan): Ini merujuk pada karyawan yang terlalu sensitif terhadap kritik atau masukan, sering kali mengambilnya sebagai serangan pribadi. Misalnya, di industri periklanan, seorang desainer grafis yang merasa tersinggung ketika klien atau atasan memberikan umpan balik kritis terhadap karyanya, sehingga mempengaruhi kinerja dan hubungan kerja.

Provokator: Individu yang sengaja menciptakan konflik atau ketegangan di tempat kerja. Contoh: Di sebuah perusahaan teknologi, seorang karyawan yang menyebarkan rumor tidak benar tentang rekan kerja untuk menimbulkan keretakan di tim dan menciptakan ketidakpercayaan.

Sabotase Kerja: Tindakan mengganggu atau merusak pekerjaan orang lain. Misalnya, di sebuah pabrik, seorang operator mesin yang sengaja merusak peralatan kerja atau menghapus data produksi untuk menjatuhkan rekan kerjanya.

Tidak Patuh: Karyawan yang tidak mengikuti peraturan atau instruksi yang diberikan. Contoh: Di sektor layanan kesehatan, seorang perawat yang sering mengabaikan prosedur keselamatan pasien, sehingga membahayakan keselamatan pasien dan dirinya sendiri.

Sikap Melawan Otoritas: Menolak menerima perintah atau arahan dari atasan. Misalnya, di bidang konstruksi, seorang pekerja yang menolak mengikuti instruksi manajer proyek, yang dapat mengakibatkan penundaan atau risiko keselamatan.

Apatis Masa Bodoh: Karyawan yang tidak peduli terhadap tugas atau lingkungan kerja. Contoh: Di industri ritel, seorang kasir yang acuh tak acuh terhadap pelanggan dan tugasnya, menyebabkan pelayanan yang buruk dan menurunnya kepuasan pelanggan.

Menghindari Tugas: Karyawan yang sering mencari alasan untuk tidak menyelesaikan pekerjaan. Misalnya, di kantor pemerintahan, seorang pegawai negeri yang selalu memberikan alasan sakit atau sibuk untuk menghindari tanggung jawabnya.

Kemarahan: Menunjukkan emosi marah secara berlebihan di tempat kerja. Contoh: Di restoran, seorang koki yang sering meledak-ledak atau berteriak pada rekan kerjanya saat terjadi tekanan atau kesalahan.

Pelaku Bullying: Karyawan yang melakukan intimidasi atau pelecehan terhadap rekan kerja. Misalnya, di kantor perusahaan, seorang supervisor yang mengintimidasi bawahannya dengan ancaman atau pelecehan verbal.

Perkelahian: Terlibat dalam bentrokan fisik dengan rekan kerja. Contoh: Di lokasi konstruksi, dua pekerja yang terlibat dalam perkelahian fisik karena perselisihan.

Sikap Mendiamkan Bawahan: Mengabaikan atau tidak berkomunikasi dengan bawahan. Misalnya, di perusahaan manufaktur, seorang manajer yang tidak memberikan arahan atau umpan balik kepada timnya, sehingga menimbulkan kebingungan dan ketidakpastian.

Manipulatif: Mengendalikan atau memanfaatkan orang lain untuk keuntungan pribadi. Contoh: Di perusahaan keuangan, seorang karyawan yang memanipulasi laporan keuangan untuk mendapatkan promosi atau bonus.

Menjegal Keberhasilan Orang Lain: Menghalangi atau merusak usaha rekan kerja untuk sukses. Misalnya, di perusahaan konsultasi, seorang konsultan yang memberikan informasi palsu kepada rekan kerjanya untuk menggagalkan proyek mereka.

Sikap Tidak Hormat: Karyawan yang tidak menunjukkan rasa hormat kepada rekan kerja atau atasan. Contoh: Di kantor hukum, seorang asisten hukum yang berbicara kasar atau merendahkan rekan kerja atau atasan.

Fraud: Melakukan penipuan atau kecurangan di tempat kerja. Misalnya, di perusahaan asuransi, seorang karyawan yang menggelapkan uang perusahaan atau memalsukan dokumen klaim.

Semua perilaku ini menandakan bahwa pengendalian emosi yang rendah di kalangan karyawan tidak hanya menimbulkan masalah interpersonal, tetapi juga mengganggu produktivitas perusahaan secara keseluruhan. Meskipun terlihat sepele, dampak dari masalah-masalah ini bisa sangat signifikan.

Dampak Negatif pada Kinerja Perusahaan

Dari sudut pandang bisnis, sulit membayangkan berapa banyak perusahaan yang telah mengalami kerugian karena masalah pengendalian emosi. Beberapa sumber inter-analisis dari perusahaan terkemuka mengindikasikan bahwa masalah internal yang disebabkan oleh konflik emosional di antara karyawan merupakan salah satu penyebab utama kebangkrutan yang harus dihadapi. Dengan kata lain, masalah ini bercorak seperti kanker yang dapat menggerogoti seluruh aspek dalam perusahaan, menyebabkan kerusakan fatal pada elemen-elemen fundamental.

Perilaku kontra-produktif yang muncul sebagai akibat dari pengendalian emosi yang lemah tidak hanya merugikan individu yang terlibat, tetapi juga menciptakan atmosfer kerja yang toksik. Tingkat kolaborasi yang rendah, hilangnya rasa saling menghormati, dan menurunnya semangat kerja menjadi beberapa dampak yang mengkhawatirkan.

Urgensi Reformasi di Bidang Sumber Daya Manusia (HR)

Dengan mempertimbangkan berbagai konsekuensi negatif ini, perusahaan perlu segera melakukan evaluasi dan perbaikan sistem di bidang Sumber Daya Manusia (HR). Fokus perbaikan harus tidak hanya pada aspek administratif tetapi juga meliputi aspek psikologis karyawan. Melalui pendekatan ini, perusahaan dapat lebih memahami dinamika emosi di tempat kerja dan menyusun strategi yang tepat untuk meningkatkan pengendalian emosi karyawan.

Salah satu solusi yang dapat diterapkan adalah pelatihan manajemen emosi. Program-program semacam ini dapat memberikan karyawan keterampilan yang diperlukan untuk mengelola emosi mereka dengan lebih baik, berkomunikasi secara efektif, dan berkolaborasi dalam tim dengan lingkungan yang positif. Selain itu, HR juga perlu menerapkan sistem umpan balik yang konstruktif serta membangun budaya kerja yang mendorong dukungan antar rekan kerja.

Pentingnya peran HR dalam konteks ini tidak dapat diremehkan. HR seharusnya dapat menjembatani komunikasi antara manajemen dan karyawan, merancang program kesejahteraan psikologis yang sesuai, serta memberikan dukungan yang maksimal kepada karyawan yang mengalami masalah emosional. Dengan demikian, HR dapat berfungsi sebagai mediator yang efektif dan proaktif dalam menghadapi masalah pengendalian emosi di lingkungan kerja.

Pengendalian emosi yang baik adalah fondasi untuk menciptakan lingkungan kerja yang sehat dan produktif. Sementara kondisi di jalan raya memberikan gambaran nyata tentang dampak negatif dari lemahnya pengendalian emosi, realitas di dunia kerja tidak kalah penting untuk diperhatikan. Dengan memperkuat sistem HR dan memperluas peran yang mencakup aspek psikologis, perusahaan dapat meminimalkan kerugian yang dapat ditimbulkan akibat konflik emosional dan menciptakan lingkungan kerja yang lebih harmonis. Kini saatnya bagi setiap perusahaan untuk menanggapi tantangan ini dengan tindakan konkret demi keberlangsungan dan keberhasilan masa depan mereka