Sejak tahun 2000-an kita banyak sekali diperhadapkan pada penemuan-penemuan mengenai faktor-faktor yang menciptakan keberhasilan seseorang baik dalam pekerjaan maupun dalam bidang apapun juga. Kita mengetahui bahwa selama beberapa dekade kita selalu merasa bahwa kemampuan intelegensi seseorang adalah potensi yang akan membantu seseorang untuk bisa mencapai keberhasilan. Namun dengan banyaknya penemuan baru untuk melihat seseorang dari berbagai macam sisi misalnya emosi dengan munculnya emosional question, spiritual dengan munculnya spiritual question dan berbagai macam aspek kepribadian yang bertujuan untuk menemukan faktor-faktor yang mempengaruhi seseorang ini bisa disebut sebagai high performers.

Namun hingga saat ini belum ada seorang ahli pun yang bisa mengklaim bahwa faktor-faktor yang menentukan keberhasilan seseorang adalah hal-hal yang spesifik. Bahkan semakin lama dipelajari banyak variabel-variabel lain yang nampaknya dianggap sebagai faktor-faktor yang juga mempengaruhi keberhasilan seseorang. Misalnya fisik. Kemampuan seorang perenang mungkin betul bisa didukung oleh latihan yang keras, namun jika tidak di support juga oleh bentuk fisik tertentu nampaknya akan mustahil untuk orang bisa menjadi seorang haid performers tidak pernah.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada faktor yang berdiri sendiri namun semuanya saling berketergantungan dan saling mempengaruhi. Kita tidak bisa mengatakan bahwa emotional quotient adalah satu-satunya yang menciptakan banyak kesuksesan manusia ketika mereka bekerja. Mungkin jika pekerjaan-pekerjaan yang mereka hadapi lebih pada kemampuan relasi dan sosial tentu emotional quotient menjadi kunci penting namun jika mereka berkutat di bidang yang banyak menggunakan perhitungan kalkulasi angka analisa mungkin kemampuan emosional tidak menjadi kunci utama keberhasilan seseorang.

Posisi pengukuran IQ sendiri saat ini merupakan salah satu tools untuk melengkapi gambaran seseorang dalam merespon situasi kerja. Karena berdasarkan pengalaman kalau IQ seseorang rendah mereka akan sangat kesulitan untuk memahami hal-hal yang sederhana di lingkungan sekitar mereka baik hal-hal yang sifatnya logika, perhitungan, numerik, memori. jadi tidak bisa dikatakan bahwa IQ tidak dibutuhkan lagi karena untuk seseorang bisa bekerja mereka tentunya membutuhkan kapasitas IQ yang sesuai dengan standar kerja yang mereka butuhkan.

Penggunaan hasil IQ sendiri pun masih menjadi perdebatan hingga saat ini karena masing-masing peneliti mereka tentunya akan mengatakan bahwa konsep mereka jauh lebih akurat dibandingkan konsep yang sudah ada. Namun perdebatan ini nampaknya perlu diselesaikan dengan cara mengkolaborasikan semua pemahaman mengenai manusia sehingga kita bisa mendapatkan gambaran utuh seseorang. Artinya kita tidak bisa sekedar mengandalkan IQ yang tinggi ataupun nilai IPK yang tinggi untuk memprediksi apakah orang ini akan menjadi seorang yang haid performance di dunia kerja atau tidak. Ada banyak variabel dan aspek lain yang juga menentukan misalnya grit yaitu kemampuan seseorang untuk mengatasi permasalahan mereka, atau adversity quotient yang mengukur seberapa besar mental state mereka ketika menghadapi hambatan dan masih banyak alat ukur lainnya yang juga memiliki konsep pandang yang berbeda-beda.

Namun demikian kita harus memahami manusia yang utuh dalam konteks kerja sehingga kita tidak kehilangan arah dan hanya sibuk dengan mengelola variabel-variabel yang mungkin masih merupakan eksperimen di berbagai macam universitas.

Manusia dalam konteks kerja bersifat unik dan ini yang harus bisa dipecahkan oleh banyak konsultan sumber daya manusia agar mereka bisa memberikan rekomendasi terbaik pada perusahaan untuk mendapatkan kandiat-kendat yang memiliki potensi yang luar biasa. Walaupun sifat dari evaluasi tes ini sendiri tidak bersifat jangka panjang karena bisa jadi ketika dites hari ini ia dalam kondisi yang fit namun ketika ia menghadapi situasi yang berbeda bisa jadi hasil tesnya juga akan berbeda atau bahkan memang mereka akan menghadapi situasi yang bermotivasi pada saat-saat tertentu.

Oleh sebab itu pengukuran psikologis jangan terlalu dijadikan patokan bahwa merupakan standar yang bisa digunakan jangka panjang namun perusahaan juga harus terus mengembangkan sumber daya manusia dengan berbagai macam treatment seperti pelatihan, mentoring, pembinaan sosialisasi dan lain sebagainya untuk bisa tetap mempertahankan karyawan tersebut dalam kondisi yang sangat fit untuk bisa bekerja.

Bahkan banyak sekali orang yang pertama kali dievaluasi psikologis ternyata tidak lolos secara standar umum namun pada akhirnya mereka adalah orang-orang yang lebih loyal kepada organisasi dan juga mereka bisa mengembangkan kreativitas mereka dengan jauh lebih optimal.

Andreas Imawanto

Source : Coach300