
Peristiwa yang dialami oleh komedian senior Indonesia, Nunung, memberikan pelajaran berharga bagi kita, khususnya dalam menjalin hubungan dengan keluarga inti maupun keluarga besar. Dalam beberapa sesi podcast, Nunung mengungkapkan bahwa selama bertahun-tahun ia selalu membantu keluarga besarnya, mulai dari kebutuhan sehari-hari, pendidikan hingga tingkat perguruan tinggi, bahkan untuk membayar tagihan listrik dan air. Keinginannya untuk membantu tidak hanya didasari oleh permintaan keluarga, tetapi juga oleh rasa tanggung jawabnya sebagai seseorang yang merasa berkecukupan berkat kariernya sebagai komedian nasional.
Namun, bantuan yang diberikan Nunung tampaknya tidak menjadi pengingat bagi keluarganya bahwa ia telah berkorban demi kehidupan mereka. Bahkan, ketika ia menghadapi kesulitan keuangan akibat harus mengurus penyakit kankernya, tidak ada satu pun anggota keluarga yang pernah ia bantu datang untuk sekadar menunjukkan simpati atau memberikan sedikit bantuan finansial. Ia bahkan pernah meminta bantuan kepada beberapa saudara yang dulu pernah ia bantu, tetapi jawaban yang diterima sungguh mengecewakan: “Mohon maaf, kami tidak memiliki dana untuk itu.”
Dari sudut pandang moral, tindakan keluarga besar Nunung yang tidak menghargai bantuan besar yang telah ia berikan mencerminkan kerusakan moral yang signifikan dalam keluarga modern saat ini. Bantuan yang terus-menerus ternyata tidak membuat orang semakin sadar bahwa itu adalah anugerah atau berkat dari orang lain, yang seharusnya layak untuk dibalas dengan rasa hormat dan penghargaan.
Dari perspektif kedewasaan manusia, hal ini perlu diluruskan agar menjadi pelajaran fundamental tentang bagaimana setiap individu seharusnya menjalani hidup. Prinsip dasar yang perlu dipegang adalah bahwa ketika seseorang tidak lagi bergantung secara emosional dan finansial kepada orang-orang di sekitarnya, ia memiliki kewajiban untuk bekerja dan memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Di banyak negara, anak-anak yang telah berusia 21 tahun dianggap sebagai orang dewasa yang harus mulai memikirkan masa depan mereka dan mampu berdiri sendiri melalui usaha mereka. Usia ini biasanya merupakan masa setelah menyelesaikan pendidikan tinggi, di mana mereka harus mengembangkan kemampuan untuk menjadi individu yang mandiri. Namun, di Indonesia, prinsip dasar ini tampaknya belum terbentuk dengan baik, sehingga banyak anak yang bahkan telah berusia 30 hingga 40 tahun masih bergantung kepada orang tua mereka.
Secara psikologis, kondisi ini membuat banyak individu menjadi sangat bergantung pada orang lain. Mereka tidak merasa sungkan untuk meminta bantuan atau pinjaman kepada orang-orang terdekat, berharap untuk dikasihani. Tentu saja, pengecualian berlaku bagi mereka yang memiliki keterbatasan fisik atau mental yang memang membutuhkan dukungan dari orang dewasa lainnya. Namun, bagi individu yang telah matang secara usia, memiliki kemampuan fisik yang lengkap, dan kemampuan berpikir yang baik, mereka seharusnya berusaha sesuai dengan kapasitas dan kemampuan masing-masing.
Kembali kepada pelajaran dari peristiwa yang dialami Nunung, kita tidak boleh merasa bahwa memiliki sesuatu yang berlebihan berarti harus selalu memberikan secara cuma-cuma kepada orang-orang yang sehat secara fisik dan mental. Bantuan sebaiknya diberikan kepada mereka yang benar-benar membutuhkan, seperti yang mengalami sakit, ketidakmampuan, atau kehilangan orang tua sebagai pencari nafkah. Hal ini adalah tindakan yang wajar dan wajib dilakukan sebagai bagian dari keluarga besar. Namun, memberikan bantuan secara terus-menerus kepada individu yang sudah berkeluarga tetapi tetap bergantung kepada orang lain adalah tindakan yang tidak dewasa dan dapat meningkatkan kemalasan seseorang untuk berusaha.
Prinsip dasar yang ingin disampaikan adalah bahwa individu yang telah dewasa secara psikologis dan fisik memiliki kewajiban untuk mandiri secara finansial, emosional, dan fisik. Kemandirian ini mencakup kemampuan untuk mengelola kehidupan sehari-hari tanpa ketergantungan kepada orang lain, baik dalam aspek keuangan, emosional, maupun keputusan-keputusan yang memengaruhi kehidupan mereka secara keseluruhan. Mandiri bukan hanya tentang memenuhi kebutuhan diri sendiri, tetapi juga tentang mengambil tanggung jawab penuh atas konsekuensi dari tindakan dan pilihan mereka dalam hidup.
Ketika individu memutuskan untuk berkeluarga, tanggung jawab ini menjadi semakin penting. Berkeluarga bukan hanya sekadar membangun rumah tangga bersama pasangan, tetapi juga melibatkan upaya untuk menciptakan lingkungan yang stabil, nyaman, dan sehat bagi seluruh anggota keluarga. Fokus utama mereka harus diarahkan pada pemenuhan kebutuhan keluarganya, termasuk kebutuhan finansial, emosional, dan spiritual. Sebagai kepala atau anggota keluarga, individu dituntut untuk bekerja lebih keras untuk memastikan bahwa keluarganya dapat hidup dengan layak dan sejahtera.
Berkeluarga adalah bagian dari proses kehidupan yang diharapkan oleh Sang Pencipta sebagai salah satu wujud tanggung jawab manusia untuk menjalani kehidupan yang bermakna. Dalam banyak budaya dan ajaran agama, berkeluarga dianggap sebagai salah satu tugas luhur manusia yang harus dijalani dengan komitmen dan dedikasi penuh. Selain bekerja untuk memenuhi kebutuhan materi, individu juga diharapkan mampu menjadi teladan dalam kehidupan spiritual, memberikan kasih sayang, dan membimbing anggota keluarga untuk menjalani hidup dengan nilai-nilai yang baik.
Kemandirian finansial menjadi aspek penting yang harus dimiliki oleh setiap individu dewasa. Dalam hal ini, individu perlu memiliki kemampuan untuk menghasilkan pendapatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri dan, ketika berkeluarga, kebutuhan keluarganya. Kemandirian finansial juga mencakup kemampuan untuk mengelola uang secara bijak, termasuk membuat anggaran, menabung, dan menghadapi situasi darurat. Kemampuan ini membantu individu untuk menghindari ketergantungan pada orang lain, terutama pada orang tua atau kerabat dekat.
Selain aspek finansial, kemandirian emosional juga memiliki peran yang tidak kalah penting. Individu yang mandiri secara emosional mampu menghadapi berbagai tantangan dan tekanan dalam hidup tanpa terlalu bergantung pada orang lain untuk mendapatkan dukungan atau validasi. Kemandirian emosional melibatkan kemampuan untuk mengelola emosi, menghadapi konflik, dan menjaga keseimbangan mental di tengah berbagai situasi. Hal ini sangat penting bagi individu yang memutuskan untuk berkeluarga, karena mereka perlu menjadi figur yang kuat secara emosional untuk mendukung pasangan dan anak-anak mereka dalam menghadapi tantangan kehidupan.
Kemandirian fisik juga merupakan komponen penting dari kehidupan individu dewasa. Hal ini mencakup kemampuan untuk menjaga kesehatan tubuh, melakukan pekerjaan sehari-hari, dan menghadapi tantangan fisik dengan penuh tanggung jawab. Individu yang mandiri secara fisik mampu mengurus dirinya sendiri tanpa harus bergantung pada orang lain, kecuali dalam kondisi tertentu seperti penyakit atau kecacatan. Ketika berkeluarga, kemampuan untuk menjaga kesehatan fisik juga menjadi penting, karena seorang individu yang sehat mampu memberikan kontribusi maksimal untuk keluarganya.
Kemandirian, dalam segala aspek, memungkinkan individu untuk menjalani kehidupan yang lebih produktif dan bermakna. Dengan mandiri, individu dapat memberikan kontribusi positif tidak hanya bagi keluarganya tetapi juga bagi masyarakat. Mereka mampu menjadi pribadi yang bertanggung jawab, penuh empati, dan mampu memberikan dampak yang baik dalam lingkungannya.
Kita perlu mempertimbangkan bantuan yang sifatnya rutin hanya jika berkaitan dengan pekerjaan yang dilakukan untuk kita. Misalnya, jika saudara bekerja di perusahaan kita, maka memberikan gaji adalah kewajiban kita. Namun, jika ada individu dewasa yang malas berusaha dan lebih memilih bergantung kepada keluarga lainnya, hal ini harus segera diperbaiki.
Penelitian dari salah satu universitas di Indonesia menunjukkan bahwa rata-rata usia kematangan dan kemandirian seseorang di Indonesia berada pada rentang usia 27 hingga 32 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar individu di Indonesia membutuhkan waktu lebih lama untuk mencapai tahap kemandirian dibandingkan dengan budaya di negara lain. Dalam konteks ini, budaya luar negeri sering dijadikan perbandingan, di mana pada usia 17 hingga 21 tahun, individu sudah dianggap dewasa secara sosial, emosional, dan finansial. Di usia tersebut, mereka diharapkan mampu mandiri dan keluar dari ketergantungan terhadap orang tua, meskipun mereka masih tinggal bersama orang tua karena alasan ekonomis, seperti belum memiliki rumah sendiri.
Di negara-negara maju, seperti Amerika Serikat atau Eropa, terdapat ekspektasi sosial yang mendorong individu muda untuk mandiri sejak dini. Usia 17 hingga 21 tahun sering kali menjadi masa transisi, di mana anak-anak yang baru saja menyelesaikan pendidikan sekolah menengah atas mulai bekerja paruh waktu, masuk perguruan tinggi sambil mencari penghasilan tambahan, atau bahkan tinggal sendiri untuk mengeksplorasi dunia kerja. Mereka tidak hanya dituntut untuk bertanggung jawab atas keuangan pribadi tetapi juga sering kali membantu orang tua dengan membayar tagihan-tagihan tertentu, seperti biaya listrik, air, atau internet. Hal ini mencerminkan budaya di mana kemandirian dianggap sebagai bagian dari pembentukan identitas dewasa dan tanggung jawab terhadap keluarga.
Sebaliknya, di Indonesia, meskipun beberapa individu telah berusia lebih dari 27 tahun, banyak yang masih bergantung kepada orang tua untuk kebutuhan sehari-hari. Situasi ini dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti norma budaya, kondisi ekonomi, dan sistem pendidikan. Norma budaya di Indonesia sering kali menekankan pentingnya hubungan keluarga yang erat, di mana orang tua merasa berkewajiban untuk terus mendukung anak-anak mereka bahkan setelah mereka dewasa. Selain itu, kondisi ekonomi yang kurang stabil dan tingkat pengangguran yang relatif tinggi dapat menjadi alasan mengapa banyak individu sulit untuk mencapai kemandirian finansial pada usia muda.
Sistem pendidikan juga memiliki pengaruh terhadap usia kemandirian di Indonesia. Banyak mahasiswa di Indonesia yang harus menyelesaikan pendidikan tinggi hingga usia 23 atau 24 tahun, terutama jika mereka mengambil program studi yang membutuhkan waktu lebih lama seperti kedokteran. Setelah lulus, mereka membutuhkan waktu tambahan untuk menemukan pekerjaan yang sesuai dengan kompetensi mereka dan menghasilkan pendapatan yang cukup untuk mendukung kehidupan mandiri. Hal ini dapat memperpanjang periode ketergantungan terhadap orang tua, baik secara emosional maupun finansial.
Namun, ada konsekuensi yang harus dihadapi jika kemandirian tidak segera ditanamkan sejak usia muda. Ketergantungan yang berkepanjangan dapat memengaruhi perkembangan mental individu dan menyebabkan kurangnya rasa tanggung jawab terhadap diri sendiri. Orang yang terlalu bergantung pada orang tua cenderung memiliki sikap yang kurang proaktif dalam menghadapi tantangan hidup, seperti mencari pekerjaan atau mengelola keuangan pribadi. Bahkan, dalam beberapa kasus, ketergantungan ini dapat menghambat kemajuan mereka dalam membangun karir atau membentuk keluarga sendiri.
Penting bagi masyarakat Indonesia untuk mulai membangun kesadaran akan pentingnya kemandirian pada usia yang lebih dini. Orang tua dapat berperan besar dalam mempersiapkan anak-anak mereka untuk menghadapi kehidupan mandiri, misalnya dengan mengajarkan nilai-nilai tanggung jawab dan kemandirian sejak usia remaja. Memberikan kesempatan kepada anak-anak untuk bekerja paruh waktu, mengelola uang sendiri, atau membuat keputusan penting dalam hidup mereka dapat membantu mereka lebih siap menghadapi dunia luar.
Sebagai tambahan, pemerintah dan institusi pendidikan juga dapat membantu mendorong proses kemandirian ini melalui program-program yang memberikan pelatihan keterampilan kerja, mengembangkan pendidikan berbasis kewirausahaan, dan memberikan akses kepada peluang karir bagi generasi muda. Langkah-langkah ini dapat membantu individu muda di Indonesia mencapai kematangan dan kemandirian pada usia yang lebih awal, sehingga mampu membangun masa depan yang lebih cerah.
Budaya premanisme yang menjadi tren saat ini muncul karena sifat-sifat ketergantungan tersebut. Lihatlah gaya mereka meminta kepada toko atau perusahaan, mirip seperti anak-anak yang merengek meminta dibelikan kendaraan. Ketika tidak diberikan, mereka mengamuk, marah, dan merusak benda-benda di sekitar. Apa bedanya dengan preman-preman di Indonesia yang mengancam dan marah ketika tidak diberikan uang sesuai harapan mereka? Semua ini berakar dari perilaku orang tua yang terlalu membiarkan anak-anak bergantung pada mereka meskipun sudah dewasa.
Andreas Imawanto
Recent Comments