Mental institusi merupakan konsep yang merujuk pada cara berpikir, sikap, dan perilaku kolektif individu-individu dalam suatu lembaga atau komunitas. Dalam konteks ini, kita dapat melihat bagaimana interaksi dan dinamika antaranggota institusi dapat membentuk pola perilaku yang beragam. Di satu pihak, pola ini bisa menjadi sumber kekuatan dan solidaritas, tetapi di pihak lain, jika tidak dikelola dengan baik, dapat mengarah pada perilaku negatif yang merusak reputasi institusi itu sendiri. Salah satu institusi yang saat ini tengah mengalami tantangan serius terkait isu ini adalah institusi kepolisian di Indonesia.

Kepolisian sebagai salah satu pilar penegakan hukum seharusnya berfungsi sebagai penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Namun, belakangan ini, sorotan publik terhadap kepolisian semakin meningkat, terutama terkait dengan oknum-oknum yang terlibat dalam tindakan-tindakan di luar nalar hukum. Dalam hal ini, kasus-kasus kejahatan yang melibatkan anggota kepolisian, seperti yang kita lihat dalam kasus Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat atau lebih dikenal dengan kasus Sambo, telah memicu keprihatinan yang mendalam. Oknum yang seharusnya menjaga dan melindungi masyarakat ternyata terlibat dalam kejahatan serius, termasuk pembunuhan, yang mengoyak kepercayaan publik terhadap institusi ini.

Dengan adanya kasus ini, mental institusi kepolisian terlihat mengalami degradasi yang cukup parah. Saat kepercayaan publik luntur, anggota-anggota kepolisian yang sebelumnya mungkin berkomitmen pada tugas dan tanggung jawab mereka, perlahan-lahan mulai menunjukkan perilaku buruk. Mereka merasa bahwa jika atasan mereka terlibat dalam perilaku tersebut, maka mereka pun bisa mendapatkan pembenaran untuk melakukan hal yang sama. Proses mentalisasi ini sangat berbahaya, karena menciptakan budaya kekerasan dan pelanggaran yang tidak terkontrol. Ketidakjiwaan institusi ini menciptakan pola yang bersifat kultural dan berpotensi membawa kepada kehancuran karir individu serta reputasi lembaga.

Sejak terjadinya insiden tersebut, publik terus mempertanyakan integritas dan profesionalisme kepolisian. Banyak yang menyuarakan bahwa mental institusi di kepolisian telah mencapai titik nadir, menjadi salah satu masalah besar yang harus segera ditangani. Dengan berbagai kasus pelanggaran hukum yang marak, kepolisian berada pada posisi terpuruk, dengan reputasi sebagai institusi negara yang tidak diperhitungkan lagi di mata masyarakat. Penilaian negatif ini menjadi tantangan besar, tidak hanya bagi kepolisian itu sendiri, tetapi juga bagi keamanan dan ketertiban nasional secara keseluruhan.

Agar reformasi yang efektif bisa diterapkan, dibutuhkan tindakan tegas dari pimpinan puncak kepolisian, bahkan dari puncak pemerintahan seperti presiden. Tindakan-tindakan ini harus mencakup perombakan besar-besaran, terutama dalam hal budaya kerja dan nilai-nilai yang harus diterapkan di lingkungan kepolisian. Penting bagi semua pihak, baik anggota kepolisian maupun masyarakat, untuk menyadari konsekuensi dari tindakan mereka. Setiap anggota kepolisian perlu diberikan pemahaman mendalam mengenai tanggung jawab mereka sebagai aparat negara, termasuk kesadaran bahwa hukuman yang mereka terima jika melanggar hukum haruslah dua atau tiga kali lipat lebih berat dibandingkan dengan pelanggar biasa. Hal ini diharapkan dapat memberikan efek jera dan kembali menegaskan komitmen mereka terhadap janji yang telah mereka ucapkan saat disumpah untuk menjalankan tugas sebagai aparat.

Selain itu, membangun budaya kerja yang memiliki nilai-nilai sejati yang hidup sangatlah penting. Budaya ini tidak hanya menjadi panduan perilaku, tetapi juga dapat membentuk pola pikir yang positif di antara anggota kepolisian. Ketika setiap individu menginternalisasi nilai-nilai positif tersebut, akan terbentuk kesadaran bersama untuk berperilaku sesuai standar moral dan etika yang tinggi. Dengan demikian, investasi dalam pengembangan mental institusi akan berdampak langsung terhadap kinerja dan integritas kepolisian.

Reformasi mental institusi kepolisian bukanlah sebuah tugas yang mudah dan instan. Diperlukan komitmen kuat dari semua level, mulai dari pimpinan tertinggi hingga anggota lapangan. Proses ini akan melibatkan pendidikan dan pelatihan berkelanjutan untuk membangun karakter yang sesuai dengan harapan masyarakat. Dengan langkah-langkah yang tepat, institusi kepolisian diharapkan dapat bangkit kembali dari keterpurukan, memperbaiki reputasi, dan mengembalikan kepercayaan publik.

Budaya kerja merupakan hasil dari interaksi di dalam organisasi, di mana nilai-nilai dan norma yang ada akan mempengaruhi pola pikir serta perilaku individu. Jika budaya kerja yang ada di kepolisian tidak menekankan pada integritas, akuntabilitas, dan pelayanan masyarakat yang tulus, maka kemungkinan besar akan muncul perilaku menyimpang. Hal ini diperburuk oleh adanya lingkungan yang tidak transparan atau dukungan dari atasan untuk melakukan tindakan di luar hukum, sehingga menciptakan “mental institution” yang negatif.

Selain itu, adanya fenomena “bystander effect” atau efek pengamat juga dapat menjadi faktor yang berkontribusi terhadap tindakan oknum tersebut. Ketika banyak individu dalam institusi melihat perilaku menyimpang namun memilih untuk diam, maka kondisi tersebut memberikan legitimasi bagi pelanggaran hukum yang semakin meluas. Dalam hal ini, rasa tanggung jawab kolektif yang seharusnya menjadi pendorong untuk mencegah perilaku negatif justru berubah menjadi sikap acuh tak acuh.

Kaitannya dengan mental institution menggarisbawahi pentingnya nilai-nilai yang hidup dalam sebuah organisasi. Jika kepolisian ingin dibebaskan dari stigma negatif dan bersih dari tindakan ilegal, mereka harus secara proaktif membangun budaya kerja yang kuat. Ini termasuk pelatihan reguler mengenai etika, peningkatan transparansi, serta mekanisme pelaporan yang aman bagi anggota yang ingin melaporkan tindakan menyimpang tanpa rasa takut. Dengan langkah-langkah seperti itu, institusi kepolisian tidak hanya akan mampu memperbaiki citranya di mata publik, tetapi juga menciptakan lingkungan kerja yang sehat dan produktif

Mental institution merupakan gambaran kompleks mengenai saling pengaruh di dalam komunitas. Dalam konteks kepolisian, budaya kerja yang solid merupakan kunci untuk membentuk perilaku anggotanya. Tanpa adanya nilai-nilai yang kuat dan penerapan prinsip-prinsip etika yang jelas, institusi ini akan menghadapi tantangan besar dalam menjaga kredibilitas serta kepercayaan masyarakat. Oleh karena itu, penting bagi setiap organisasi, khususnya yang berkaitan dengan penegakan hukum, untuk terus menerapkan dan menginternalisasi nilai-nilai positif dalam setiap aspek operasionalnya.